Oleh: Amir Faisal (Mindset developer, Business Coach and Book Writer)
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dirinya miskin karena takdir, sama halnya dia telah menuduh Tuhan berbuat tidak adil padanya, karena pada kenyataannya di dunia ini banyak orang yang ditakdirkan jadi kaya raya. Seandainya tuduhannya betulpun, bahwa kaya dan miskin adalah takdir Tuhan, dia sendiri juga tidak tahu termasuk orang yang ditakdirkan kaya atau miskin. Kenapa malah buru-buru menyimpulkan bahwa dirinya telah ditakdirkan miskin?
Apa yang dimaksud dengan kekayaan itu?
Arti kekayaan adalah kepemilikan harta dan aset lainnya. Semakin banyak, maka seseorang akan semakin kaya.
Jadi artikel ini tidak membicarakan tentang kaya hati. Tetapi kenapa orang bisa kaya dan yang lain tidak. Atau kenapa orang bisa kaya, kemudian tidak lama kemudian jadi miskin lagi, bangkrut, dan bahkan banyak utang?
Mindset kaya dan miskin
Menurut Milton Erickson, masa lalu dan pengalaman seseorang itu memiliki struktur dan membentuk Paradigma berfikir.
Beruntunglah jika Anda dibesarkan oleh lingkungan yang tidak mengkerdilkan Mindset Anda menjadi miskin. Semakin sering seseorang menerima pengalaman pahit, maka akan semakin kuat pikiran, anggapan ataupun keyakinan dalam dirinya, bahwa ia memang sudah bernasib demikian dan terkadang ada yang menyalahkan situasi atau orang lain.
Terdapat pola-pola tertentu yang bersifat konsisten pada orang-orang kaya ataupun orang-orang miskin yang diakibatkan oleh peta mental atau peta pikiran masing-masing, yang bersemayam di otaknya yang menciptakan “cetak biru”
Ternyata orang-orang sukses dan kaya memiliki “cetak biru” berupa paradigma yang berbeda dengan orang miskin, dimana cara mereka memandang dunia atau realitas kehidupan menyebabkan mereka mampu melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa yang mengantarkan mereka pada kesuksesannya itu.
Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menolong diri sendiri adalah menyelamatkan diri dari jebakan mental block atau dengan merubah pikiran yang digunakan untuk merespon dan mensikapi segala kejadian dan membangun “cetak biru” baru yang sama sekali berbeda dengan yang sebelumnya. Karena selama kita menggunakan cetak biru yang lama (dengan pola gagal), maka kita akan memiliki anggapan-anggapan dan keyakinan yang lama dalam merespon kejadian, sehingga membuat kita selalu mengambil keputusan dan melakukan tindakan yang sama, serta akan menghasilkan kegagalan-kegagalan yang sama pula.
Baca Juga : Bangsa Butuh Kebijakan Konkret, Bukan Propaganda Opini Tentang Freeport
CETAK BIRU > BELIEF > MINDSET > RESPON > TINDAKAN > HASIL
Beberapa survei terhadap orang-orang kaya membuktikan ternyata kekayaan mereka tidak terkait dengan jenis usaha yang dipilih, alternatif dan besarnya modal yang mereka miliki ataupun situasi ekonominya. Apapun pilihan dan kondisinya, mereka tetap mampu “mencetak” uang dalam jumlah yang besar. Mereka umumnya pernah mengalami kebangkrutan, tetapi dalam tempo yang tidak lama bisa kembali menjadi kaya. Jadi bukan pada jenis usaha atau situasi yang dihadapi tetapi tergantung pada pola pikir mereka dalam menyikapi situasi itu.
Kenapa bisa demikian? Karena, walaupun orang-orang kaya itu kehilangan uang mereka dalam jumlah yang sangat besar, tetapi mereka tidak pernah kehilangan “pola pikir besar” nya. Saya pernah meeting dengan salah seorang kaya di negeri ini dalam sebuah kegiatan sosial, dimana dia tetap menyumbangkan uang ratusan juta rupiah, walaupun habis merugi hampir Rp.1 Trilyun. Bayangkan seandainya Anda yang mengalami kerugian seperti itu, masih terpikirkankah untuk memberikan sumbangan? Orang-orang kaya sudah terbiasa berfikir dalam skala besar. Jika mereka sudah biasa mendapat keuntungan jutaan dolar, maka kerugian dalam jumlah segitu, juga dianggap hal biasa.
Konsep Tentang Kekayaan & Uang
Bagi Orang-orang kaya, kekayaan merupakan konsep hidup, bukan sekedar keinginan atau impian seperti kebanyakan orang.
Sebab adanya konsep, akan menciptakan visi hidup. Konsep itu merupakan salah satu bentuk “cetak biru” yang sudah tersusun dan teraplikasi. Jika menjadi kaya hanya sekedar sebuah keinginan ataupun impian, maka ia akan dengan mudah dibajak oleh pikiran bawah sadar kita. Banyak orang yang secara sadar ingin menjadi kaya, tetapi terbajak oleh pikiran bawah sadarnya, sehingga gagal menjadi kaya.
Dibawah ini disajikan beberapa kasus hambatan menjadi kaya;
Pada mulanya, seseorang begitu gigih mencari uang, tetapi ketika sudah mencapai jumlah tertentu, dia menjadi kehilangan motivasi yang sangat mempengaruhi kinerjanya, sehingga pendapatannya menurun dengan drastis. Begitu orang itu melihat rekeningnya mulai menipis, barulah dia bersemangat lagi mencari uang hingga mencapai jumlah tertentu, kemudian semangatnya menurun lagi. Begitu seterusnya.
Ada orang yang sebenarnya berbakat bisnis. Pandai mencari peluang dan pandai menjalin relasi ataupun menjual. Tetapi entah kenapa, ia tidak pernah bisa mendapat untung besar. Setiap kali ia akan mengambil keputusan untuk mengambil margin keuntungan, ada semacam perasaan bersalah yang mengganggu pikirannya untuk mengambil untung besar. Akhirnya dia memutuskan untuk mengambil keuntungan yang kecil saja, tetapi ia merasa tenteram.
Ada juga orang yang giat bekerja mencari uang, tetapi setelah uang itu terkumpul, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang mendorong orang tersebut untuk cepat-cepat menghabiskannya lagi, dengan berbelanja barang-barang mewah, sehingga uangnya habis lagi. Kemudian giat lagi, berbelanja lagi dan habis lagi. Demikian seterusnya.
Pada ketiga kasus diatas, walaupun pikiran sadar orang-orang itu ingin menjadi orang kaya, tetapi dalam bawah sadarnya, mereka sebenarnya takut, merasa bersalah, atau bahkan marah dengan uang dan kekayaan. Pengalaman negatif masa lalu yang terpendam di alam bawah sadar seperti rasa takut, rasa bersalah atau bahkan rasa marah tiba-tiba muncul begitu saja di permukaan ketika memiliki kekayaan.
Banyak keluarga dari orang tua kandung kita yang hidup rukun dan damai ketika kakek nenek kita masih hidup. Setiap ada acara keluarga selalu berkumpul dalam suasana suka cita. Tetapi sesudah sepasang kakek nenek itu meninggal, suasananya berubah menjadi panas dan hampir setiap hari mata kita yang masih polos di usia anak-anak, disuguhi pertengkaran demi pertengkaran, yang tidak sedikit berujung di pengadilan dan berakibat putusnya hubungan keluarga. Apa penyebab utamanya? Tidak lain adalah harta warisan. Akibatnya, saat sekarang, pikiran bawah sadar kita akan berusaha mencegah kita, saat akan memiliki harta dalam jumlah besar, karena begitu uang itu terkumpul, berarti akan datang malapetaka. Kita merasa takut yang menyebabkan energi kita menurun drastis dalam mencari uang. Atau terkadang rasa takut itu munculnya sangat halus. Ketika Anda menyimpan uang, apa niat yang terbersit dalam pikiran Anda? Untuk jaga-jaga atau untuk apa? Coba Anda pikirkan, motif jaga-jaga itu termasuk rasa takut bukan? Menurut penelitian, rasa aman dan rasa takut didorong oleh motif yang sama. Apakah tidak lebih baik pikirannya Anda ubah, “Saya simpan uang untuk saat-saat menyenangkan dalam kehidupan saya di masa depan”
Kasus kedua diakibatkan nilai-nilai ketimuran kita yang luhur, tanpa sengaja telah memberikan bias, misalnya pamrih materi/uang dalam memberikan jasa kita pada orang lain kadang-kadang dianggap kurang etis. Padahal, bagi kita yang sering mempekerjakan orang untuk kepentingan diri kita, tentu kita lebih suka apabila kontraprestasinya disebutkan dalam satuan uang, bukan balas budi, yang tidak jelas sampai kapan lunasnya. Oleh karena itu pikiran semacam itu seharusnya di update, bahwa meminta bayaran untuk jasa yang mereka berikan justru meringankan beban pikiran si pemberi kerja sendiri. Jika tidak, setelah menjadi profesional yang layak dibayar dengan harga yang tinggi, pikiran bawah sadar itu akan terus membebani. Dalam berdagang kita seringkali dianjurkan oleh para orang tua untuk mencari keuntungan yang wajar-wajar saja. Padahal harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Kalau kita menjual barang dengan harga yang tinggi untuk kualitas yang sama dengan produk sejenis, tentu saja tidak akan laku. Tidak ada istilah wajar dan tidak wajar.
Kemudian kasus yang ketiga, yaitu seseorang yang berbelanja membabibuta menghabiskan uang, bisa jadi disebabkan oleh rasa marahnya terhadap penderitaan pada masa lalunya. Ataupun pernah mendapat perlakuan yang merendahkan harga dirinya yang menyangkut kekayaan. Maka saat ia sudah menguasai uang yang sangat besar, suara bawah sadarnya berkata, “Sudah berapa tahun saya dipandang rendah, kini saatnya saya . . . . “ Pertanyaannya, apakah dengan berbelanja berlebihan dan melakukan investasi secara serampangan akan melepaskan mereka dari penderitaan masa lalu. Tidak! Mereka akan semakin menderita, karena dendam kemarahan itu ternyata tidak pernah kunjung padam, sementara pengeluaran tanpa kendali itu membuat manajemen finansial mereka semakin buruk dan meluncur kepada kebangkrutan.
Baca Juga : MEMALUKAN, Kapolsek Ini Pakai Surat Miskin Masukkan Anak ke SMA Favorit
Persepsi Negatif tentang kekayaan
Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan negatif tentang kekayaan, yang seolah-olah merupakan anjuran yang baik, padahal itu salah besar :
– Umumnya orang-orang setelah menjadi kaya, banyak yang berubah sikapnya. (KOREKSI : Berubah sikap, bisa menjadi lebih buruk atau lebih baik)
– Orang tuamu selalu cekcok karena masalah uang (KOREKSI: Mereka cekcok, karena uangnya pas-pasan, sedangkan kebutuhannya banyak)
– Anak kecil jangan mainan uang, kotor, jijik, banyak bakterinya.(KOREKSI: Tidak ada benda di tempat umum yang tidak terkontaminasi bakteri dan yang kotor dan menjijikkan bukan hanya uang)
– “Cari uang itu sulit !” (KOREKSI: Mungkin cara mencarinya yang keliru. Buktinya banyak yang mudah mendapatkan uang)
– “Kalau masih kuliah jangan cari uang dulu, nanti tidak lulus-lulus” (KOREKSI: Banyak mahasiswa abadi yang bukan karena nyambi bekerja ataupun berbisnis)
– Uang adalah akar dari kejahatan dan korupsi (KOREKSI: Akar kejahatan adalah mental, bukan uang. Membangun masjid dan naik haji juga pakai uang. Kenapa tidak disebut, akar ibadah adalah uang?
– “Kalau lihat uang saja, matanya jadi hijau.” (KOREKSI: Asal uang halal dan menjadi haknya dan juga bukan mengemis, why not? )
– Kamu bukan keturunan orang kaya (KOREKSI: Banyak pengusaha sukses dan kaya raya, keturunannya orang miskin)
– Begitu orang itu menjadi kaya, teman-temannya pada menjauh (KOREKSI: Salahnya yang menjauh. Emangnya gua pikirin)
– Biasanya, orang semakin kaya, akan semakin pelit dan egois (KOREKSI: Pelit dan egois adalah watak manusia, kaya ataupun miskin)
Dan seterusnya Anda bisa melakukan koreksi atas sikap dan pandangan yang salah yang mungkin melekat dalam pandangan kita. Selamat Mencoba! (*)
Sumber : Kanigoro.com
Pernyataan kontroversial tentang kekayaan sebagai pilihan sukses dan kemiskinan sebagai takdir sering kali memicu debat panjang.
Bagi sebagian, pernyataan ini mungkin terdengar sebagai generalisasi yang terlalu simplistik, sementara bagi yang lain, itu bisa menjadi pencerahan yang mendorong untuk merenung dan memperbaiki diri.
Dalam menjelajahi topik ini lebih dalam, kita akan membahas beberapa sudut pandang yang berbeda dan mencoba memahami kompleksitas di balik keberhasilan dan kegagalan.
Kekayaan sebagai Pilihan
Pertama-tama, mari telaah klaim bahwa kekayaan adalah hasil dari pilihan sukses.
Memang benar bahwa banyak orang kaya dan sukses telah mencapai prestasi mereka melalui perjuangan, kerja keras, dan tekad yang kuat.
Mereka bukan hanya menerima nasib mereka, tetapi aktif berpartisipasi dalam membentuknya.
Sebagai contoh, pengusaha sukses seringkali memiliki cerita perjalanan yang penuh tantangan, mulai dari gagal berkali-kali hingga meraih kesuksesan akhirnya.
Ketika seseorang memilih untuk berjuang, memperbaiki diri, dan tumbuh menjadi lebih baik, mereka memasuki ranah pilihan sukses.
Ini melibatkan tidak hanya kerja keras fisik, tetapi juga pengembangan diri secara pribadi dan profesional. Kesuksesan seringkali merupakan hasil dari kombinasi keterampilan, pengetahuan, dan sikap positif yang memandu seseorang melalui rintangan dan kegagalan.
Penting juga untuk memahami bahwa pilihan sukses tidak selalu sejalan dengan kekayaan materi. Kesuksesan dapat diukur dari berbagai aspek kehidupan, termasuk pencapaian pribadi, kebahagiaan, dan kontribusi positif terhadap masyarakat.
Lihat Money Selengkapnya
Oleh karena itu, menjadi kaya tidak selalu identik dengan keberhasilan, dan sebaliknya, kesuksesan tidak selalu diukur dengan jumlah uang yang dimiliki.
Mengubah Paradigma: Usaha, Pilihan, dan Takdir
Seringkali, argumen mengenai kekayaan sebagai pilihan sukses atau kemiskinan sebagai takdir diwarnai oleh paradigma yang perlu kita perbarui.
Melihatnya sebagai konsep yang saling eksklusif mungkin tidak memahami sepenuhnya kompleksitas kehidupan dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Ketika seseorang menghadapi kegagalan atau kesulitan finansial, penting untuk melakukan evaluasi diri yang jujur.
Lihat Money Selengkapnya
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
كان الفقر والغنى بليتين ومحنتين يبتلي الله بهما عبده
“Kekayaan dan kemiskinan merupakan dua cobaan yang ALLAH Ta’ala uji hamba dengan keduanya.”
[Ighotsatul Lahfan 1/29]
Kemiskinan dan Kegagalan sebagai Takdir
Di sisi lain, beberapa orang cenderung merasa bahwa kegagalan dan kemiskinan adalah takdir yang telah ditetapkan sejak lahir.
Mereka menghadapi hidup dengan keyakinan bahwa nasib mereka sudah ditentukan, dan tidak banyak yang bisa mereka lakukan untuk mengubahnya.
Justifikasi seperti ini dapat menjadi bentuk penghiburan ketika menghadapi kesulitan, tetapi seringkali juga menjadi pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
Menilai hidup sebagai takdir yang tidak dapat diubah dapat menciptakan sikap pasif dan kehilangan semangat untuk mencoba hal-hal baru.
Orang-orang yang terjebak dalam pola pikir ini mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki kendali atas kehidupan mereka dan akhirnya terjerumus dalam siklus kegagalan yang sulit diputuskan.
Penting untuk diingat bahwa takdir tidak selalu berarti nasib yang buruk. Takdir juga mencakup pilihan dan keputusan yang diambil seseorang sepanjang hidup mereka.
Oleh karena itu, merubah takdir tidak selalu berarti mengubah kenyataan yang telah ditetapkan, tetapi lebih pada perubahan sikap dan tindakan yang dapat membentuk masa depan yang berbeda.